Dalam biografi Agus Salim disebutkan, pada tahun 1906 bersamaan dengan
gagalnya dia melanjutkan sekolah, beliau mendapatkan tawaran kerja
sebagai penerjemah di konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Beliau
menerima pekerjaan tersebut dalam kurun waktu 2 tahun antara tahun 1909
sampai 1911. Disela-sela pekerjaannya, beliau menimba ilmu lebih jauh
tentang agama Islam kepada Syech Ahmad Khatib, seorang Imam di Masjidil
Haram yang juga pamannya sendiri dan merupakan guru dari KH. Hasyim
Asy`ari pendiri NU dan KH. Ahmad dahlan Pendiri Muhammadiyah. Selain
belajar agama, beliau juga belajar mengenai ilmu diplomasi dan politik.
Perpaduan ketajaman ilmu Agama, ilmu Politik, Kemampuan Bahasa asing dan
kecerdasannya yang tinggi membuatnya menjadi pribadi yang disegani.
Saat pulang ke tanah air, beliau langsung aktif dalam pergerakan
nasional dan juga mendirikan Sekolah HIS (Hollandsche Inlandesche
School.
Melanjutkan biografi Agus Salim, perjuangan politiknya diawali saat
bergabung dengan Serikat Islam pada tahun 1915 yang dipimpin oleh HOS
Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Beliau sempat menjadi anggota Volksraad (
semacam DPR/MPR) dari perwakilan SI di pemerintah Hindia Belanda
menggantikan seniornya HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Agus Salim
tidak bertahan lama dan mengalami kekecewaan atas kebijakan pemerintah
Hindia Belanda sebagaimana pendahulunya dan berkesimpulan berjuang dari
dalam tidak efektif hingga memutuskan focus berjuang melalui SI. Pada
tahun 1923 SI pecah secara ideolgi menjadi SI kiri atau SI merah yang
berideologikan ke ``kiri`` yang dipimpin oleh Semaun dan Darsono yang
menjadi cikal bakal PKI dengan SI kanan atau SI Putih yang berhaluan
ideology kanan, dimana Agus Salim tergabung didalamnya dengan
Tjokroaminoto. Agus Salim sering mendapat tuduhan sebagai mata-mata
Belanda, namun ditepisnya dengan keberaniannya untuk mengkritik
pemerintah Belanda melalui pidato-pidatonya. Agus Salim menjadi pimpinan
puncak SI menggantikan HOS Tjokroaminoto yang wafat pada tahun 1934.
Selain di SI, beliau mendirikan juga organisasi Jong Islamieten Bond dan
melakukan perubahan pola pikir dari yang kaku ke Islam moderat dengan
meniadakan hijab pemisah antara tempat duduk laki-laki dan perempuan
pada kongres ke 2 Jong Islamieten Bond di Yogyakarta tahun 1927.
Membaca biografi Agus Salim lebih dalam kita menemukan
keterlibatan beliau sebagai anggota PPKI yang mempersiapkan kemerdekaan
Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia, beliau mendapat mandate
sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. Pada Kabinet Syahrir I dan II,
beliau di tunjuk menjadi Menteri Muda Luar Negeri. Begitu pula pada
cabinet Hatta. Berlanjut setelah kedaulatan Indonesia diakui oleh
internasional, beliau ditunjuk menjadi penasihat Menteri Luar Negeri.
``The Grand Old Man`` adalah julukan terhadap Agus Salim, karena
kepiawainnya dalam berdiplomasi yang tidak tertandingi pada jamannya.
Salah satu contoh, beliau sangat cerdik untuk mendapatkan pengakuan atas
kemerdekaan Indonesia dari Negara Jerman. Negara Jerman yang merasa
keturunan bangsa Arya berlaku sombong dan menganggap rendah Negara atau
orang yang tidak bisa berbahasa Jerman. Maka, saat kunjungannya sebagai
Menteri Luar Negeri, dia menyusun naskah pidatonya dalam Bahasa Jerman
yang sangat fasih dan memukau petinggi Jerman hingga akhirnya mengakui
kemerdekaan Indonesia.
Menelaah biografi Agus Salim, kita akan menemukannya sebagai sosok yang
merdeka dalam berpikir dan bertindak. Beliau tidak mau terkungkung dalam
batasan-batasan, termasuk mendobrak tradisi Minang yang menurutnya
kolot. Walaupun seorang tokoh yang disegani dan sangat cerdas,
penampilannya sangat sederhana,sering hanya menggunakan sarung dan peci.
Beliau tidak tidak memiliki brumah tetap dan selalu berpindah-pindah
dari satu kota ke kota lain. Di tiap kota, beliau hanya menyewa rumah
yang kecil dan sederhana. Dalam hal pendidikan anak, beliau mengajarnya
sendiri atau home schooling kalau dalam istilah sekarang. Hanya anaknya
yang paling kecil yang disekolahkan secara formal. Beliau beranggapan,
semua keahliannya tidak diperoleh disekolah formal, namun lebih karena
belajar mandiri atau otodidak dengan ``learning by doing``. Beliau
melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda dalam hal pendidikan
dengan berujar`` saya telah melalui jalan berlumpur akibat pendidikan
kolonial``. Haji Agus Salim begitu akrab panggilannya di lintasan
sejarah, wafat dalam usia 70 tahun tepatnya pada 4 November 1954 dan
dimakamkan di TMP Kalibata. Atas segala jasa dan perjuangannya, beliau
mendapat anugerah sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang
tertuang dalam Keppres nomor 657 tertanggal 27 Desember 1961.
Pendidikan Agus Salim
- Europeesche Lagere School (ELS)
- Hoogere Burgerschool (HBS)
Penghargaan Agus Salim
- Pahlawan Nasional Indonesia SK Keppres nomor 657 tahun 1961
Post Comment