Jenderal Sudirman
adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari
Purbalingga. Beliau merupakan panglima besar Tentara Nasional Indonesia
yang pertama dan seorang perwira tinggi pada masa Revolusi Nasional
Indonesia.
Jenderal
Sudirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem tepatnya pada
tanggal 24 Januari 1916 di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga. Ia
diberi nama Soedirman oleh pamannya yang bernama Cokrosunaryo. Dalam ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sejak tahun 1972 namanya dieja menjadi Sudirman.
Saat Sudirman
berusia enam tahun, ayahnya meninggal dunia. Kemudian Cokrosunaryo
mengadopsi Sudirman. Ia dibesarkan dengan baik juga diajarkan beretika
dan tata krama yang baik, serta diajarkan untuk hidup dalam
kesederhanaan. Beliau adalah anak yang taat pada agama, ia mempelajari
ilmu Islam di bawah bimbingan Kyai Haji Qahar.
Saat berusia tujuh tahun, Sudirman bersekolah di Sekolah Pribumi (Hollandsch Inlandsche School), namun ia pindah ke Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara. Kemudian melanjutkan sekolah menengah di Wirotomo. Kemudian ia melanjutkan ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo.
Setelah
Cokrosunaryo pensiun sebagai camat pada akhir 1916, Sudirman tinggal
keluarganya ke Manggisan, Cilacap. Ia membantu mendirikan cabang Hizboel Wathan, sebuah organisasi Kepanduan Putra milik Muhammadiyah, kemudian ia menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap.
Pada tahun 1936
Sudirman menikah dengan Alfiah, dulu merupakan teman sekolahnya dan
merupakan putri dari seorang pengusaha batik yang bernama Raden
Sastroatmojo. Ia dikarunia tujuh orang anak; Ahmad Tidawono, Muhammad
Teguh Bambang Tjahjadi, dan Taufik Effendi, Didi Praptiastuti, Didi
Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi Wahjudi Satyaningrum.
Dikisahkan dari
salah satu seorang murid-nya mengatakan bahwa Sudirman merupakan guru
yang adil dan sabar dalam mendidik muridnya. Ia juga dikenal sebagai
seorang pemimpin yang moderat dan demokratis tidak hanya itu, ia juga
aktif sebagai anggota Kelompok Pemuda Muhammadiyah. Pada tahun 1937, ia
diangkat sebagai Ketua Kelompok Pemuda Muhammadiyah. Istrinya juga aktif
dalam kegiatan kelompok putri Muhammadiyah Nasyiatul Aisyiyah.
Pendidikan Militer di Tentara Pembela Tanah Air (PETA)
Pada awal tahun
1942, Jepang mulai menduduki Indonesia setelah memenangkan beberapa
pertempuran melawan pasukan militer Belanda. Tepatnya pada tanggal 9
Maret 1942, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachouwe dan
Jenderal KNIL Hein ter Poorten menyerah.
Peristiwa ini
menimbulkan perubahan drastis dalam pemerintahan nusantara banyak
masyarakat pribumi yang menderita dan mengalami pelanggaran hak asasi
manusia di tangan Jepang.
Pada tahun 1944, Sudirman diminta untuk bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA),
merupakan kesatuan militer yang dibentuk oleh Jepang pada tanggal 3
Oktober 1943 untuk membantu Jepang dalam menghalau serangan sekutu.
Sudirman mulai
masuk dan berlatih di Bogor, Jawa Barat. Ia dijadikan sebagai komandan
dan dilatih oleh perwira dan tentara Jepang, para tentara dipersenjatai
dengan peralatan yang disita dari Belanda. Setelah empat bulan
pelatihan, ia diangkat sebagai Komanda Batalyon di Kroya, Banyumas, Jawa
Tengah.
Revolusi Nasional
Pengeboman yang
terjadi di kota Hiroshima dan Nagasaki membuat Jepang dalam ambang
kehancuran, berita tersebut berhasil masuk ke Indonesia pada awal bulan
Agustus 1945, dan diikut oleh peristiwa kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945.
Peristiwa
tersebut membuat kontrol Jepang mulai melemah. Situasi tersebut
dimanfaatkan dengan baik oleh Sudirman, akhirnya ia memimpin pelarian
dari pusat penahanan dari Bogor. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Jepang
membubarkan PETA.
Sudirman bertemu dengan Soekarno di Jakarta, kemudian Soekarno memintanya untuk mempimpin perlawanan
terhadap pasukan Jepang di Kota, namun Sudirman menolaknya dengan alasan
tidak terbiasa dengan lingkungan di Jakarta. Sudirman bergabung dengan
pasukannya di Kroya pada tanggal 19 Agustus 1945.
Sudirman dan
beberapa rekannya sesama tentara PETA mendirikan cabang BKR di Banyumas
pada akhir Agustus, setelah sebelumnya singgah di Kroya dan mengetahui
bahwa batalion di sana telah dibubarkan.
Pertemuannya
dengan komandan wilayah Jepang, Saburo Tamura, dan Residen Banyumas,
Iwashige. Ia dan Iskak Cokroadisuryo memaksa Jepang untuk menyerahkan
diri dan memberikan senjata mereka. Sebagian besar senjata ini digunakan
oleh unit BKR Sudirman dan sisanya dibagikan kepada batalion lainnya.
Pada tanggal 5 Oktober Soekarno mengeluarkan dekrit pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
terdiri dari TKR Darat, TKR Laut, dan TKR Jawatan Penerbangan. TKR
mempunyai fungsi, yaitu untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjaga
rakyat Indonesia. Oerip Soemohardjo ditetapkan sebagai pemimpin
sementara.
Pasukan
Inggris, berhasil melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkan
tawanan perang Belanda, tiba di Semarang, dan kemudian bergerak menuju
Magelang. Ketika Inggris mulai mempersenjatai kembali tentara Belanda
yang menjadi tawanan perang dan sepertinya sedang mempersiapkan sebuah
pangkalan militer di Magelang.
Sudirman
mengirim beberapa pasukannya di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman
untuk mengusir mereka; misi ini berhasil, dan tentara Eropa menarik diri
dari Ambarawa, di tengah-tengah Magelang dan Semarang. Pada 20 Oktober,
Ia membawahi Divisi V setelah Oerip membagi Pulau Jawa menjadi divisi
militer yang berbeda.
Pada tanggal 12
November 1945, Sudirman terpilih sebagai pemimpin TKR saat berusia 29
tahun, melalui pemungutan suara yang berlangsung dua tahap. Ia berhasil
mendapat 22 suara sedangkan Oerip hanya mendapatkan 21 suara. Ia tetap
menunjuk Oerip sebagai kepala staff kemudian Sudirman dipromosikan
menjadi Jenderal.
Tentara
gabungan antara Belanda dan Inggris telah mendarat di Jawa pada bulan
September, dan pertempuran besar telah terjadi di Surabaya pada akhir
Oktober dan awal November. Ketidakstabilan ini, serta keraguan Soekarno
atas kualifikasi Sudirman, menyebabkan terlambatnya pengangkatan
Sudirman sebagai pemimpin TKR.
Pada akhir
November Sudirman memerintahkan Divisi V untuk menyerang pasukan Sekutu
di Ambarawa, sekali lagi dikomandoi oleh Isdiman, kota itu dianggap
penting secara strategis karena memiliki barak militer dan fasilitas
pelatihan yang sudah ada sejak zaman penjajahan. Serangan ini
dilumpuhkan oleh serangan udara dan tank-tank Sekutu, yang memaksa
divisi untuk mundur, Isdiman sendiri tewas dalam pertempuran.
Sudirman
kemudian memimpin Divisi dalam serangan lain terhadap pasukan Sekutu;
tentara Indonesia dipersenjatai dengan berbagai senjata, mulai dari
bambu runcing dan katana sitaan sebagai senjata, sedangkan tentara
Inggris dipersenjatai dengan peralatan modern.
Sudirman memimpin di barisan depan sambil memegang sebuah katana. Sekutu berhasil dipukul mundur dan bersembunyi di Benteng Willem. Pada 12 Desember, Sudirman memimpin pengepungan empat hari, yang menyebabkan pasukan Sekutu mundur ke Semarang.
Pertempuran
Ambarawa membuat Sudirman lebih diperhatikan di tingkat nasional.
Sudirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR pada tanggal 18 Desember
1945. Posisinya sebagai kepala Divisi V digantikan oleh Kolonel Sutiro.
Pemerintah Indonesia kemudian mengganti nama Tentara Keamanan Rakyat
menjadi Tentara Keselamatan Rakyat pada tanggal 7 Januari 1946.
Pemerintah
Indonesia memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke Yogyakarta
karena kota Jakarta sudah dikuasai. Pada bulan Januari delegasi yang
dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir melakukan negosiasi dengan
Belanda pada bulan April dan Mei terkait dengan pengakuan kedaulatan
Indonesia, namun tidak berhasil.
Pada tanggal 25
Mei, Sudirman dikukuhkan kembali sebagai panglima besar setelah
reorganisasi dan perluasan militer. Dalam upacara pengangkatannya,
Soedirman bersumpah untuk melindungi republik "sampai titik darah
penghabisan."
Pada tanggal 7
Oktober 1946, Sjahrir dan mantan Perdana Menteri Belanda, Wim
Schermerhorn, sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Perundingan ini
dimoderatori oleh diplomat Inggris Lord Killearn dan juga melibatkan
Sudirman. Namun, ia diperintahkan untuk kembali ke Yogyakarta setelah
tentara Belanda tidak mengijinkan dirinya dan anak buahnya memasuki
Jakarta dengan membawa senjata.
Perundingan di Jakarta berakhir dengan perumusan Perjanjian Linggarjati
pada tanggal 15 November, perjanjian ini disahkan pada 25 Maret 1947,
meskipun ditentang oleh para nasionalis Indonesia. Pada tahun 1947,
kondisi sudah damai setelah Perjanjian Linggarjati. Sudirman mulai
berupaya untuk mengonsolidasikan TKR dengan berbagai laskar. Dalam
upayanya ini, ia mulai melaksanakan reorganisasi militer; kesepakatan
baru bisa tercapai pada Mei 1947, dan pada 3 Juni 1947, Tentara Nasional Indonesia (TNI) diresmikan.
Gencatan
senjata yang berlangsung setelah Perjanjian Linggarjati tidak bertahan
lama. Pada tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda yang telah menduduki
wilayah peninggalan Inggris selama penarikan mereka melancarkan Agresi
Militer, dan dengan cepat berhasil menguasai sebagian besar Jawa dan
Sumatera.
Pada tanggal 29
Agustus 1947 Belanda menciptakan Garis Van Mook merupakan garis yang
membagi wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Belanda dan Indonesia. Di
sepanjang garis ini, gencatan senjata diberlakukan.
Pada tanggal 5
Oktober 1948, setelah perayaan hari jadi TNI ketiga, Soedirman pingsan.
Setelah diperiksa oleh dokter, ia didiagnosis mengidap tuberkulosis
(TBC). Pada akhir bulan, ia dibawa ke Rumah Sakit Umum Panti Rapih dan
menjalani pengempesan paru-paru kanan, dengan harapan bahwa tindakan ini
akan menghentikan penyebaran penyakit tersebut.
Sumber : https://commons.wikimedia.org/wiki/Panti_Rapih_Hospital
Ketika berada
di rumah sakit, Sudirman dan Nasution berdiskusi mengenai rencana untuk
berperang melawan Belanda. Mereka sepakat bahwa perang gerilya, yang
telah diterapkan di wilayah taklukan Belanda sejak bulan Mei, adalah
perang yang paling cocok bagi kepentingan mereka.
Sudirman
mengeluarkan perintah umum pada 11 November, dan persiapannya ditangani
oleh Nasution. Soedirman dipulangkan dari rumah sakit pada tanggal 28
November 1948.
Pada tanggal 19
Desember, Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua untuk merebut ibu
kota Yogyakarta. Lapangan udara di Maguwo berhasil diambil alih oleh
pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Eekhout. Sudirman, menyadari
serangan itu, kemudian memerintahkan stasiun RRI untuk menyiarkan
pernyataan bahwa para tentara harus melawan karena mereka telah dilatih
sebagai gerilyawan.
Sudirman
kemudian mengunjungi Istana Presiden di Yogyakarta, tempat para pemimpin
pemerintahan sedang mendiskusikan ultimatum yang menyatakan bahwa kota
itu akan diserbu kecuali para pemimpin menerima kekuasaan kolonial.
Sudirman
mendesak presiden dan wakil presiden agar meninggalkan kota dan
berperang sebagai gerilyawan, namun sarannya ini ditolak. Meskipun
dokter melarangnya, ia mendapat izin dari Soekarno untuk bergabung
dengan anak buahnya. Pemerintah pusat dievakuasi ke Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat atas desakan Sultan Hamengkubuwono IX.
Baca juga: Biografi Tuanku Imam Bonjol Pahlawan Indonesia.
Perang Gerilya
Sudirman pergi
ke rumah dinasnya dan mengumpulkan dokumen-dokumen penting, lalu
membakarnya untuk mencegahnya jika dokumen tersebut jatuh ke tangan
Belanda. Bersama sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, mulai
bergerak ke arah selatan menuju Kretek, Parangtritis, Bantul.
Selama berada
di Kretek, Sudirman memberikan perintah kepada tentaranya agar menyamar
ke kota yang telah diduduki oleh Belanda untuk melakukan pengintaian,
dan meminta istrinya menjual perhiasannya untuk membantu mendanai
gerakan gerilya. Setelah beberapa hari di Kretek, ia dan kelompoknya
melakukan perjalanan ke timur di sepanjang pantai selatan menuju
Wonogiri.
Sudirman akan
mengontrol para gerilyawan dari Jawa Timur, yang masih memiliki beberapa
pangkalan militer untuk menghadapi perlawanan Belanda. Sadar bahwa
Belanda sedang memburu mereka, pada tanggal 23 Desember ia memerintahkan
pasukannya untuk melanjutkan perjalanan ke Ponorogo.
Di Ponorogo, mereka berhenti di rumah seorang ulama bernama Mahfuz
lalu memberikan sebuah tongkat untuk Sudirman yang membantunya
berjalan, meskipun Sudirman terus dibopong dengan menggunakan tandu di
sepanjang perjalanan. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke timur.
Pada tanggal 27
Desember, Sudirman dan anak buahnya bergerak menuju Desa Jambu dan tiba
pada 9 Januari 1949. Di sana, ia bertemu dengan beberapa menteri yang
tidak berada di Yogyakarta saat penyerangan: Supeno, Susanto Tirtoprojo,
dan Susilowati.
Sudirman
berjalan ke Banyutuwo sambil memerintahkan beberapa tentaranya untuk
menahan pasukan Belanda. Di Banyutuwo, mereka menetap selama seminggu
lebih. Namun, pada 21 Januari, tentara Belanda mendekati desa. Ia dan
rombongannya terpaksa meninggalkan Banyutuwo.
Kurang lebih
selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan
yang lainnya dan dari daerah satu ke daerah yang lainnya. Sudirman dan
Hutagalung mulai membahas kemungkinan untuk melakukan serangan
besar-besaran terhadap Belanda.
Sudirman
memerintahkan Hutagalung untuk mulai merencanakan serangan
besar-besaran, dengan prajurit TNI berseragam akan menyerang Belanda dan
mununjukkan kekuatan mereka di depan wartawan asing dan tim investigasi
PBB.
Hutagalung,
bersama dengan para prajurit dan komandannya, Kolonel Bambang Sugeng,
serta pejabat pemerintahan di bawah pimpinan Gubernur Wongsonegoro,
menghabiskan waktu beberapa hari dengan membahas cara-cara untuk
memastikan agar serangan itu berhasil. Pertemuan ini menghasilkan
rencana Serangan Umum 1 Maret 1949; pasukan TNI akan menyerang pos-pos
Belanda di seluruh Jawa Tengah.
Pasukan TNI di
bawah komando Letnan Kolonel Soeharto berhasil merebut kembali
Yogyakarta, dan menyebabkan Belanda kehilangan muka di mata
internasional; Belanda sebelumnya menyatakan bahwa TNI sudah diberantas.
Karena semakin
meningkatnya tekanan dari PBB, maka pada 7 Mei 1949 Indonesia dan
Belanda menggelar perundingan, yang menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Perjanjian ini menyatakan bahwa Belanda harus menarik pasukannya dari Yogyakarta, beserta poin-poin lainnya.
Belanda mulai
menarik pasukannya pada akhir Juni, dan para pemimpin Indonesia di
pengasingan kembali ke Yogyakarta pada awal Juli. Soekarno lalu
memerintahkan Sudirman untuk kembali ke Yogyakarta, tapi ia menolak
untuk membiarkan Belanda menarik diri tanpa perlawanan; ia menganggap
pasukan TNI pada saat itu sudah cukup kuat untuk mengalahkan pasukan
Belanda. Pada tanggal 10 Juli, Sudirman dan kelompoknya kembali ke
Yogyakarta, mereka disambut oleh ribuan warga sipil dan diterima dengan
hangat oleh para elit politik di sana.
Meninggal Dunia
Pada awal
Agustus, Sudirman mendekati Soekarno dan memintanya untuk melanjutkan
perang gerilya. Sudirman tidak percaya bahwa Belanda akan mematuhi
Perjanjian Roem-Royen, belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya.
Soekarno tidak setuju, yang menjadi pukulan bagi Sudirman.
Sudirman
menyalahkan ketidak-konsistenan pemerintah sebagai penyebab penyakit
tuberkulosisnya dan kematian Oerip pada 1948, ia mengancam akan
mengundurkan diri dari jabatannya, namun Soekarno juga mengancam akan
melakukan hal yang sama. Dan gencatan senjata di seluruh Jawa mulai
diberlakukan pada tanggal 11 Agustus 1949.
Sudirman terus
berjuang melawan penyakit yang dideritanya TBC dengan melakukan
pemeriksaan di Panti Rapih. Ia menginap di Panti Rapih pada tahun 1949,
dan keluar pada bulan Oktober, ia lalu dipindahkan ke sebuah sanatorium
di dekat Pakem. Akibat penyakitnya ini, ia jarang tampil di depan
publik.
Sudirman
dipindahkan ke sebuah rumah di Magelang pada bulan Desember 1949. Di
saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan
konferensi panjang selama beberapa bulan yang berakhir dengan pengakuan
Belanda atas kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.
Meskipun sedang sakit, Sudirman saat itu juga diangkat sebagai panglima
besar TNI di negara baru bernama Republik Indonesia Serikat. Pada
tanggal 28 Desember 1949, Jakarta kembali dijadikan sebagai ibu kota
negara.
Sudirman wafat di Magelang pada tanggal 29 Januari 1950. Keesokan
harinya, jenazah Soedirman dibawa ke Yogyakarta, dan dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Semaki. Ia dikebumikan di sebelah makam Oerip.
Penghargaan
Sudirman dipromosikan menjadi jenderal penuh dan merupakan satu-satunya
jenderal termuda yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Tidak hanya itu ia
juga telah menerima berbagai tanda kehormatan dari pemerintah pusat
antara lain; Bintang Sakti, Bintang Gerilya, Bintang Mahaputra Adipurna,
Bintang Mahaputra Pratama, Bintang Republik Indonesia Adipurna, dan
Bintang Republik Indonesia Adipradana. Pada tanggal 10 Desember 1964,
Sudirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui
Keputusan Presiden No. 314 Tahun 1964.
Rumah masa kecilnya di Purbalingga saat ini menjadi Museum Sudirman,
sedangkan rumah dinasnya di Yogyakarta dijadikan Museum Sasmitaloka
Jenderal Sudirman, Rumah kelahirannya di Magelang juga dijadikan Museum
Sudirman, yang didirikan pada tanggal 18 Mei 1967. Sejumlah jalan juga
dinamai sesuai namanya, termasuk sebuah jalan utama di Jakarta. Patung
dan monumen yang didedikasikan untuk dirinya juga tersebar di seluruh
negeri, sebagian besarnya dibangun setelah tahun 1970.
Informasi Biografi di atas ini kami sadur dari berbagai sumber, namun
kami tidak menjamin akan kebenarannya. Jika ada kesalahan atau
kekurangan dalam penulisan atau informasi yang kami sampaikan di atas
kami mohon maaf dan berharap agar Anda bisa membetulkannya melalui kotak
komentar atau bisa menghubungi kami melalui email kami. Terima kasih.
Post Comment